12 Mei 2009

Jangan Biarkan Tentara Merana

DI tengah hiruk pikuk koalisi parpol dan pencarian pasangan presiden dan wakil presiden yang tak kunjung beres, sebuah insiden di Bandara Wamena, Papua, terpinggirkan dari perhatian publik. Padahal, insiden itu adalah percikan dari sebuah persoalan yang teramat gawat di negeri kita.
Peristiwa yang terpinggirkan itu menyangkut sebuah pesawat Hercules 130 B milik TNI Angkatan Udara. Ketika mendarat, Senin (11/5), empat ban pesawat copot. Salah satu ban menimpa sebuah rumah dan mencederai seorang penghuninya. Di bandara yang sama, 24 April 2009, sebuah pesawat Hercules milik TNI pecah ban ketika mendarat.
Walaupun tidak menelan korban jiwa, insiden Hercules 130 B milik TNI Angkatan Udara itu sesungguhnya memberi peringatan tentang sebuah persoalan yang amat serius. Yaitu ketertinggalan Indonesia dalam hal peralatan militer.
Lebih dari separuh alat utama sistem persenjataan TNI sesungguhnya tidak layak pakai. Lebih dari separuh pesawat milik TNI berusia di atas 20 tahun. Sejak 1990 tidak kurang dari 45 pesawat tidak bisa dipakai lagi, total loss.
Kecelakaan-kecelakaan sebelumnya sesungguhnya mengingatkan tentang kegawatan sistem persenjataan yang dimiliki TNI. Jatuhnya pesawat Fokker TNI-AU di Bandung yang menewaskan 24 anggota pasukan. Jatuhnya pesawat latih Cassa 212 di Gunung Salak, Bogor, yang menewaskan 18 tentara. Banyak lagi kecelakaan di tahun-tahun sebelumnya, termasuk tenggelamnya panser amfibi Marinir TNI Angkatan Laut di perairan Situbondo, Jawa Timur.
Dengan wilayah yang demikian luas dan segala kompleksitas yang ditimbulkannya, Indonesia, tidak bisa tidak, harus memiliki sistem persenjataan yang kuat. Bukan untuk menakut-nakuti negara lain, melainkan untuk menjaga kedaulatan negara. Tidak dimaksudkan untuk agresi, tetapi supaya mampu mempertahankan dan melindungi diri.
Pencurian ikan di laut yang merajalela oleh nelayan-nelayan asing. Pencurian kayu di perbatasan oleh cukong-cukong negara tetangga. Infiltrasi udara dan laut oleh pesawat dan kapal-kapal negara lain. Itu semua memperlihatkan sesungguhnya kita tidak lagi berdaulat penuh atas teritorium.
Penyebabnya adalah peralatan militer yang bisa dipakai untuk memantau dan mengusir tidak lagi memadai. Malaysia bisa dengan sesuka hati mengklaim pulau-pulau di perbatasan karena diketahui bahwa militer Indonesia tidak cukup mampu menjaga pulau-pulau tersebut.
Pemerintah tidak bisa lagi terus-menerus membiarkan TNI beroperasi dengan sistem persenjataan yang ketinggalan zaman. Anehnya, ketika berbicara tentang anggaran TNI, pemerintah sangat pelit, tetapi amat boros dalam alokasi anggaran pemilu, termasuk pilkada. Untuk memodernisasi sistem persenjataan pemerintah mengaku tidak mempunyai uang, tetapi setiap tahun ada sisa anggaran yang tidak terpakai mencapai triliunan rupiah.
Di satu sisi memang militer kita merana karena ketiadaan uang, tetapi di sisi lain mereka merana karena disalokasi dana. Demokrasi telah memaksa kita melakukan pemborosan sistemik, tetapi menelantarkan banyak hal yang substansial dan strategis seperti militer.
Profesionalisme militer tidak hanya bisa dibangun dengan aba-aba dan jargon. Keahlian bertempur tentara akan luntur bila tidak selalu diasah melalui latihan tembak atau perang-perangan.
Bila tentara terlalu sering dan lama dibiarkan merana, baik karena sistem persenjataan rongsok maupun karena kesejahteraan yang terabaikan, akan terjadi demoralisasi yang parah. Keributan tentara di Markas Batalyon Infanteri 751 di Sentani yang memorak-porandakan markas sendiri adalah contoh demoralisasi itu.
Karena itu, janganlah terlena membiarkan tentara merana. Kita tidak ingin militerisme. Tetapi di mana-mana, entah negara itu miskin atau kaya, kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar adalah kehadiran militer yang kuat.